Kasus meninggalnya Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali, membuka kembali luka lama dalam dunia pendidikan Indonesia — luka yang bernama bullying dan kurangnya empati di lingkungan akademik. Tragedi ini menjadi cermin suram bahwa pendidikan tinggi pun belum sepenuhnya mampu menjadi ruang aman bagi mahasiswanya.

Pada Oktober 2025, publik dikejutkan oleh kabar duka meninggalnya Timothy Anugerah Saputra (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana. Berdasarkan laporan Detik Bali (17 Oktober 2025), Timothy diduga mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai empat salah satu gedung kampus.

Penelusuran lebih lanjut mengungkap bahwa sebelum peristiwa tragis itu, Timothy sempat mengalami tekanan sosial dan perundungan (bullying) dari rekan-rekan kampusnya. Bahkan setelah kepergiannya, beberapa akun media sosial masih melontarkan ejekan dan komentar tidak pantas terhadap korban, termasuk perbandingan dengan figur publik yang dianggap merendahkan.

Pihak kampus melalui pernyataan resmi memberikan sanksi pendidikan kepada sejumlah mahasiswa yang terlibat dalam aksi perundungan daring tersebut, berupa pengurangan nilai soft skill selama satu semester. Namun, bagi banyak pihak, hukuman tersebut dianggap belum cukup menggambarkan betapa seriusnya dampak bullying terhadap kesehatan mental.

Dalam laporan Suara.com (17 Oktober 2025), beredar pula pesan berantai di kalangan mahasiswa yang menyebut Timothy telah lama menanggung tekanan batin dan pernah menyakiti diri sendiri akibat perlakuan yang ia alami. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa kurangnya perhatian terhadap kondisi psikologis mahasiswa menjadi faktor penting di balik tragedi ini.

“Bullying bukan hanya soal kata-kata, tapi soal bagaimana kita gagal melihat manusia di baliknya. Pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman untuk tumbuh, bukan untuk terluka,” ungkap seorang dosen bimbingan konseling dari Bali yang dimintai tanggapan oleh media lokal.

Kasus Timothy bukan yang pertama, dan kemungkinan bukan yang terakhir, jika empati tidak segera menjadi bagian dari budaya pendidikan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, nilai akademik sering kali dijadikan tolok ukur utama, sementara kesehatan mental dan rasa aman sosial terabaikan.

Refleksi dan Pelajaran yang Bisa Diambil:

Tragedi Timothy mengajarkan kita beberapa hal penting, khususnya bagi kalangan mahasiswa, dosen, dan calon pendidik:

  1. Empati adalah inti dari pendidikan.
    Setiap interaksi di lingkungan akademik seharusnya dilandasi rasa hormat dan kepedulian. Canda atau komentar kecil bisa menjadi luka besar bagi orang lain.
  2. Pendidikan perlu menumbuhkan kesadaran sosial, bukan hanya kecerdasan intelektual.
    Mahasiswa—terutama di bidang pendidikan—harus menyadari bahwa tugas mereka kelak bukan hanya mengajar, tapi juga membentuk karakter dan rasa kemanusiaan.
  3. Kampus wajib memiliki sistem pendampingan psikologis yang nyata.
    Banyak mahasiswa berjuang dalam diam. Layanan konseling yang aktif, akses terbuka untuk bercerita, dan budaya saling mendengarkan dapat menyelamatkan nyawa.
  4. Media sosial perlu digunakan dengan bijak.
    Di era digital, perundungan tidak berhenti di ruang kelas. Etika bermedia harus menjadi bagian dari kurikulum literasi digital di setiap kampus.

Kepergian Timothy Anugerah Saputra menjadi pengingat pahit bahwa pendidikan tanpa empati hanyalah rutinitas tanpa makna. Sudah saatnya dunia pendidikan—mulai dari dosen, mahasiswa, hingga pengelola kampus—bersama-sama membangun budaya yang lebih manusiawi.

Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang mencetak sarjana, tetapi tentang menumbuhkan manusia yang berempati, menghargai, dan mampu saling menjaga.

Sumber : Pikiran Rakyat

Post a comment

Your email address will not be published.

Related Posts